Pengertian
Ijtihad
Ijtihad
adalah bahasa arab berbentuk “mashdar” yang berasal dari kata
dasar “ijtihada”, artinya bersungguh-sungguh, berusaha keras atau
mengerjakan sesuatu dengan susah payah.[1]
Sedangkan
menurut istilah, para ahli fiqih berbeda pendapat dalm memberikan definisi,
diantaranya yaitu: Menurut al-Syaukani Ijtihad adalah mencurahkan sekedar
kemampuan untuk mendapatkan hukum syar’iy yang bersifat operasional
(pengamalan) dengan cara mengambil kesimpulan hukum (istinbath). Imam al-Amidi
beranggapan bahwa, Ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan yang ada untuk
mencari hukum syara’ yang sifatnya dhanni sampai dirinya merasa tidak mampu
lagi untuk mencari tambahan kemampuannya.
Menurut
para ahli, Ijtihad adalah pencurahan seorang faqih akan semua kemampuan yang
telah ada untuk mencari hukum syara’ yang sifatnya dhanni sampai dirinya tidak
mampu lagi untuk mencari kemampuannya.[2] Ahli tahqiq mengemukakan
bahwa ijtihad adalahqiyas untuk mengeluarkan (istinbath) hukum
dari kaidah-kaidah syara’ yang umum.[3]
Dari
beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Ijtihad adalah menggunakan
segala kesanggupan untuk mencari suatu hukum syara’ dengan jalan dzan. Dapat
diambil pengertian bahwa dalam masalah ijtihad, ditemukan adanya
beberapa unsur yang harus ada didalamnya, yaitu sebagai berikut:
a. Mujtahid, yaitu
orang yang melakukan ijtihad.
b. Masalah
yang akan di-ijtihadi yang benar-benar membutuhkan pencarian sttus hukumnya.
c. Metode istinbath (pengambilan
kesimpulan pendapat)
d. Inatijah, yaitu
hasil atau kesimpulan hukum yang telah diijtihadi.
Oleh
sebab itu, maka ijtihad dapat dijadikan sebagai jalan untuk mendapatkan
beberapa ketentuan hukum dari dalil sebagai landasan pokoknya. Disamping itu
bisa dijadikan pula sebagai suatu metode untuk memberikan kepastian hukum yang
muncul akibat adanya tuntutan dan kepentingan dalam bermuamalah.[4]
2. Dasar
hukum Ijtihad
Para
fuqaha boleh melakukan ijtihad apabila dalam suatu masalah tidak ada dasar
hukum yang terdapat dalam nash al-Quran. Dasar hukum diperbolehkannya melakukan
ijthad antara lain firman Allah SWT:
Artinya
: “Dan dari mana saja kamu keluar (datang), maka palingkanlah wajahmu ke
Masjidil Haram.” (QS. Al-Baqarah:149)
Dari
ayat tersebut dapat dipahami bahwa orang yang berada jauh dari Masjidil Haram,
apabila akan salat,dapat mencari dan menentukan arah itu melalui ijtihad dengan
mencurahkan akal pikirannya berdasarkan indikasi atau tanda-tanda yang ada.
Dalam
sebuah hadist nabi bahwa Muadz bin Jabal ketika diutus menjadi gubenur di Yaman
pernah berijtihad dalam memutuskan suatu perkara. Ketika itu Muadz ditanya oleh
rosulullah SAW: “dengan apa engkau menjatuhkan hukum?” Muadz menjawab, “dengan
kitab Allah (Alqur’an) jawab Muadz! “Rosulullah bertanya lagi,
“kalau engkau tidak dapat keterangan dari Al-Qur’an?” Muadz menjawab, “saya
menggalinya dari sunah rosul.” Rasulullah pun bertanya, “kalau engkau tidak
mendapati keterangan dari sunah Rasulullah SAW?” Muaddz menjawqab, “saya akan
berijtihad dengan akal saya dan tidak akan berputus asa. Rasulullah menepuk
pundak Muadz bin Jabal mennandakan persetujuannya.
Berdasarkan
ayat dan hadist tersebut, maka ulama’ membagi hukum ijtihad dalam tiga macam
sebagai berikut:
1) Wajib
‘ain, bagi seseeorang yang ditanya tentang suatu peristiwa yang hilang sebelum
diketahui hukumnya. Begitu pula apabila peristiwa tersebut dialami sendiri oleh
seseorang dan ia ingin mengetahui hukumnya.
2) Wajib
kifayah. Bagi seseorang yang ditanya tentang suatu peristiwa yang
tidak dikhawatirkan akan hilang sementara masih ada mujtahid lain selain
dirinya.
3) Sunah
yaitu terhadap suatu peristiwa yang belum terjadi, baik ditanyakan atau tidak.
3. Syarat-
syarat ijtihad dan mujtahid
Pintu
ijtihad selalu terbuka pada setiap masa, dengan perkembangan, ijtihad selalu
diperlukan. Namun demikian tidak berarti setiap orang boleh melakukan ijtihad.
Akhir-akhir ini, sebagian cendekiawan Islam merasa berhak dan mau berijtihad,
tanpa melihat kesulitan proses ijtihad. Masalah ijtihad sebenarnya bukan mau
atau tidak mau, tetapi persoalan mampu atau tidak mampu. Memaksa orang yang
tidak mampu untuk berijtihad mengundang bahaya, sebab untuk melakukan ijtihad
seseorang harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang bisa membawa ke derajat
mujtahid.[5]
Muhammad
Musa Towana dalam bukunya yang berjudul al-ijtihad mengelompokkan syarat-syarat
mujtahid ke dalam beberapa bagian berikut rinciannya.
Pertama,
persyaratan umum (al-syurut al-‘ammah), yang meliputi: balig, berakal sehat,
kuat daya nalarnya, beriman atau mukmin.
Kedua,
persyaratan pokok (al-syurut al-asasiyah), yaitu syarat-syarat mendasar yang
menuntut mujtahid supaya memiliki kecakapan berikut: (1) mengetahui Qur’an, (2)
memahami Sunnah, (3) memahami maksud-maksud hukum syari’at, dan (4) mengetahui
kaidah-kaidah umum (al-qawa’id al-kulliyat) hukum Islam.
Ketiga, persyaratan penting (al-syurut al-hammah), yakni beberapa persyaratan yang penting dipunyai mujtahid. Syarat-syarat ini mencakup: (1) menguasai bahasa Arab, (2) mengetahui ilmu ushul al-fiqh, (3) mengetahui ilmu mantik atau logika, dan (4) mengetahui hukum asal suatu perkara (al-bara’ah al-asliyah).
Keempat, persyaratan pelengkap (al-syurut al-takmiliyah) yang mencakup: (1) tidak ada dalil qat’i bagi masalah yang diijtihadi, (2) mengetahui tempat-tempat khilafiyah atau perbedaan pendapat, dan (3) memelihara kesalehan dan ketaqwaan diri.[6]
Ketiga, persyaratan penting (al-syurut al-hammah), yakni beberapa persyaratan yang penting dipunyai mujtahid. Syarat-syarat ini mencakup: (1) menguasai bahasa Arab, (2) mengetahui ilmu ushul al-fiqh, (3) mengetahui ilmu mantik atau logika, dan (4) mengetahui hukum asal suatu perkara (al-bara’ah al-asliyah).
Keempat, persyaratan pelengkap (al-syurut al-takmiliyah) yang mencakup: (1) tidak ada dalil qat’i bagi masalah yang diijtihadi, (2) mengetahui tempat-tempat khilafiyah atau perbedaan pendapat, dan (3) memelihara kesalehan dan ketaqwaan diri.[6]
4. Urgensi
Ijtihad
Untuk
menemukan
1. Karena
ada dalil dzanni dalalah
2. Perkembangan
kehidupan manusia[7]
3. Dari
hemat penulis, mengemukakan bahwa ijtihad sangat penting untuk menemukan
kebenaran suatu masalah yang belum ada nashnya.
5. Perkembangan
Ijtihad
a) Ijtihad
dan fiqih di masa Nabi SAW
Umat
islam di masa Rasul tidak melakukan ijtihad bila menghadapi masalah baru,
mereka mendatangi Nabi SAW untuk bertanya, lalu Nabi menjawab dengan petunjuk
ijtihadnya yang mendapat kebenaran dari wahyu. Mereka hanya mempergunakan
ijtihad bila mereka tak dapat bertanya. Ijtihad itu mereka sampaikan kepada
Nabi SAW, lalu Nabi SAW memberikan putusannya.
b) Periode-periode
Ijtihad sesudah Nabi SAW
v Masa
Khulafaur Rasyidin
Para
sahabat, sepeninggal Rasulullah menghadapi berbagai masalah baru. Maka mereka
melakukan Istinbat terhadap permasalahan tersebut, namun tidak menetapkan
masalah-masalah yang belum terjadi dan tidak member jawaban terhadap yang belum
timbul. Bila terjadi suatu masalah, barulah mereka melakukan ijtihad dan
berpegang pada Alqur’an dan hadits.
v Ijtihad
dewasa ini
Banyak
orang yang berkata bahwa pintu ijtihad sudah ditutup, namun pendapat ini tidak
benar melihat permasalahan-permasalahan timbul silih berganti. Didalam
penghidupan masyarakat dari hari ke hari bahkan dari saat ke saat, terdapat
masalah- masalah yang memerlukan pemecahan hukum yang pasti, yang tidak
terdapat dalam nash-nash Alqur’an atau hadits. Oleh karena itu ijtihad sangat
perlu dan sangat erat kaitannya dengan permasalahan-permasalahan itu, sebab
ijtihad pada dasarnya adalah daya upaya karya otak para mujtahid untuk
menemukan dalil dalam Alqur’an maupun as-sunnah.[8]
D. KESIMPULAN
Ijtihad
adalah menggunakan segala kesanggupan untuk mencari suatu hukum syara’ dengan
jalan dzan. Unsure yang ada dalam ijtihad yakni Mujtahid,yaitu orang yang
melakukan ijtihad, masalah yang akan di-ijtihadi yang benar-benar membutuhkan
pencarian sttus hukumnya, metode istinbath (pengambilan kesimpulan
pendapat), Inatijah, yaitu hasil atau kesimpulan hukum
yang telah diijtihadi.
Dasar
hukum ijtihad yaitu Alqur’an dan Assunnah. Hukum ijtihad ada tiga, yaitu wajib
‘ain, wajib kifayah, dan sunah. Syarat untuk berijtihad adalah baligh, berakal
sehat, mukmin, mengetahui Alqur’an, memahami Assunnah, memahami maksud-maksud
hukum syari’at, menguasai bahasa Arab, mengetahui ilmu ushul al-fiqh,
mengetahui ilmu mantik atau logika, mengetahui hukum asal suatu perkara
(al-bara’ah al-asliyah).
Urgensi
ijtihad adalah karena adanya dalil dzanni dalalah dan perkembangan hidup
manusia. Perkembangan ijtihad pada zaman Nabi SAW, para sahabat berijtihad bila
tak dapat bertanya, dan menyampaikannya, lalu Nabi SAW memberikkan putusannya.
Pada masa khulafaurrasyidin bila terjadi suatu masalah, mereka melakukan
ijtihad dan mereka berpegang pada Alqur’an dan Assunnah.
No comments:
Post a Comment