Wednesday, May 1, 2013

HADITS DHAIF, MAUDHU’ SERTA PERMASALAHANNYA



    A.    HADITS DHAIF
1.      Pengertian
Kata dhaif menurut bahasa berarti lemah, sebagai lawan dari kata kuat. Maka sebutan hadits dhaif secara bahasa berarti hadits yang lemah atau hadits yang tidak kuat.
Secara Istilah, para ulama’ terdapat perbedaan rumusan dalam mendefinisikan hadits dhaif ini. Akan tetapi pada dasarnya, isi dan maksudnya tidak berbeda. Beberapa definisi, diantaranya dapat dilihat di bawah ini.
Al- Nawawi mendefinisikan dengan:
ماَ لَمْ يُوْجَدْ فِيْهِ شُرُوْطُ الصِّحَّةِ وَلَاشُرُوْطُ الْحَسَنِ[1]
“Hadits yang di dalamnya tidak terdapat syarat-syarat hadits shahih dan syarat-syarat hadits hasan.”
Menurut Nur Al- Din ‘Itr, bahwa definisi yang paling baik ialah,
مَا فَقِدُ شَرْطاً مِنْ شُرُوْطِ الْحَدِيْثِ الْمَقْبُوْلِ[2]
“Hadits yang hilang salah satu syaratnya dari syarat-syarat hadits Maqbul (Hadis Sahih atau yanh Hasan). ”
2.      Sebab – sebab hadits tertolak
Para ahli hadits mengemukakan sebab-sebab tertolaknya hadits ini bisa dilihat dari dua jurusan, yaitu:
a.       Sanad Hadits
Dari sisi sanad hadits ini diperinci ke dalam dua bagian:
1.      Ada kecacatan pada peraksinya baik meliputi keadilanya maupun kedhabitannya, yang diuraikan dalam 10 macam:
a)      Dusta, hadist yang rawinya dusta disebut maudhu’
b)      Tertuduh dusta, hadits yang rawinya tertuduh dusta disebut matruk
c)      Fasiq
d)     Banyak salah
e)      Lengah dalam menghafal, haditsnya disebut munkar
f)       Banyak wahamnya, haditsnya disebut Mu’allal
g)      Menyalahi riwayat yang lebih tsiqqah atau dipercaya. Haditsnya disebut mudraj bila karena ada penambahan suatu sisipan; disebut maqlub bila diputar balikkan; disebut mudhtharib bila rawinya yang tertukar-tukar; disebut muharraf bila yang tertukar adalah huruf syakal; disebut mushahhahvbila perubahan itu meliputi titik kata.
h)      Tidak diketahui identitasnya. Haditsnya disebut mubham
i)        Penganut bid’ah
j)        Tidak baik hafalannya, haditsnya disebut hadits syadz dan mukhtalih
2.      Sanadnya tidak bersambung
a)    Gugur pada sanad pertama, haditsnya disebut hadits mu’allaq
b)   Gugur pada sanad terakhir (sahabat), haditsnya disebut hadits mursal
c)    Gugur dua orang rawi atau lebih secara berurutan, haditsnya disebut hadits mu’dhal
d)   Jika rawinya yang digugurkan tidak berturut-turut disebut hadits munqathi’
b.      Sanad Hadits
1.      Hadits Mauquf
2.      Hadits Maqthu’ 
    B.     HADITS MAUDHU’
1.      Pengertian
Al- Maudhu’ adalah isim maf’ul dari wa-dha-‘a (وَضَعَ) yang mempunyai arti al-isqath (meletakkan atau menyimpan); al- iftira’ wa al- ikhtilaq (mengada-ngada atau membuat-buat); dan al-tarku (ditinggal).
Sedangkan pengertian hadits maudhu’ menurut istilah adalah:
مَا نُسِبَ إِلاَ رَسُوْلِ اللهُ صَلَى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَمْ إِخْتِلاَقًا وَكَدْبًا مِمَا لَمْ يَقُلْهُ اَوْيَفْعَلْهُ اَوْيُقِرُهُ وَقَالَ بَعْضُهُمْ هُوَالْمُخْتَلَقُ الْمَصْنُوْعُ [3]
Hadits yang disandarkan kepada Rasulullah SAW, secara dibuat-buat dan dusta, padahal beliau tidak mengatakan, berbuat ataupun menetapkannya”
Jadi, hadist maudhu’ itu adalah bukan hadits yang bersumber dari Rasulullah dengan kata lain bukan hadits Rasul,akan tetapi suatu perkataan atau perbuatan seseorang atau pihak-pihak tertentu dengan suatu alasan kemudian dinisbatkan kepada Rasul.
Para ulama’ berbeda pendapat tentangkapan mulai terjadinya pemalsuan hadist. Berikut ini akan dikemukakan pendapat mereka, yakni:
1.      Menurut Ahmad Amin, bahwa hadits maudhu’ telah terjadi pada masa Rasullah SAW masih hidup. Alasan yang dijadikan argumentasi adalah sabda Rasulullah SAW
فَمَنْ كَذَبَ عَلَيَ مُتَعَمِدًا فَلْيَتَبَوَّءْ مَقْعَدَهُ فِى النَّاَر
“Bagi siapa saja yang secara sengaja berdusta kepadaku, maka hendaknya dia mengambil tempat di neraka”.
Ahmad Amin juga memaparkan satu hadits yang diriwayatkan oleh Muslim, bahwasannya suatu waktu Basyir Al-Adwi menemani ibnu Abbas, kemudian mereka berbincang-bincang dan Basyir berkata dengan “telah bersabda Rasulullah SAW......”. akan tetapi Ibnu Abbas mengacuhkan haditsnya dan tidak memperhatikan apa yang dikatakannya. Kemudian dia berkata: “ wahai putra Abbas perhatikanlah aku. Tak mau kah engkau mendengarkan haditsku? Aku beri tahukan kepadamu hadits dari Rasulluh SAW, tetapi engkau tidak mendengarkanku!” ibnu abbas berkata: “ kita itu hidup dalam satu masa. Jika ada seseorang yang berkata” telah bersabda Rasulullah SAW. Maka aku akn bersegera kesana, perhatian dan keinginanku akan mengarah kesana. Maka ketika seseorang itu tidak bisa menjangkaunya maka ia tidak akan meriwayatkannya kecuali ia benar-benar sudah tahu”.[4]
2.      Shalah Al-Din Al-Dlabi mengatakan bahwa pemalsuan hadits berkenaan dengan masalah keduniaan telah terjadi pada masa Rasulullah SAW. Alasan yang dia kemukakan adalah hadits riwayat Al-Thahawi (w. 360 H / 9dan 33m) dan Al-Thabrani (w. 360 H / 971 M). Dalam kedua hadits tersebut dinyatakan bahwa pada masa nabi ada seseorang telah membuat berita bohong mengatasnamakan Nabi. Orang itu mengaku telah diberi wewenang Nabi untuk menyelesaikan suatu masalah disuatu kelompok masyarakat disekitar madinah. Kemudian orang itu melamar seorang gadis dari masyarakat tersebut, tetapi lamaran itu ditolak. Masyarakat tersebut lalu mengirim utusan kepada Nabi untuk mengkormasikan berita utusan dimaksud. Ternyata Nabi tidak pernah menyuruh seseorang yang mengatasnamakan beliau. Dalam hadits ini, baik yang diriwayatkan At-Thahawi atau At-Thabrani trnyata sanadnya lemah (dhaif). Karena itu kedua riwayat tersebut tidak dapat dijadikan dalil.[5]
3.      Menurut Jumhur Al-Muhaditsin bahwa pemalsuan hadits itu terjadi pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Tholib, mereka beralasan bahwa keadaan hadits sejak jaman Nabi hingga sebelum tejadinya pertentangan antara Ali bin Abi Tholib dengan Muawiyah ibn Sofyan (w. 60 H / 680) masih terhindar dari pemalsuan-pemalsuan. Zaman nabi jelas tidak mungkin terjadi pemalsuan hadits. Sedangkan pada masa kekhalifahan Abu Bakar al-Shidiq, Umar bin khatab, dan Usman bin Affan juga belum terjadi pemalsuan hadits.
2.      Latar Belakang Munculnya Hadits Maudhu’
Berdasarkan data sejarah yang ada, pemaluan hadits tidak hanya dilakukan oleh orang orang islam, akan tetapi juga dilakukan oleh orang-orang non islam. Ada beberapa motif mendorong mereka membuat hadits palsu, antara lain:


1.      Pertentangan Politik
Perpecahan umat islam yang diakibatkan politik yang terjadi pada masa kekhalifahan Ali bin Abi Tholib besar sekali pengaruhnya terhadap perpecahan umat kedalam beberapa golongan dan kemunculan hadits-hadits palsu. Masing-masing golongan berusaha mengalahkan lawan dan mempengaruhi orang-orang dengan membawa-bawa Al-Qur’an dan Sunah. Sungguh sangat disayangkan!. Konflik-konflik politik telah menyeret permasalahan keagamaan masuk kedalam arena kepolitikan dan membawa pengaruh juga pada madzhab-madzhab keagamaan. Pada akhirnya masing-masing berusaha mencari dalilnya kedalam Al-Qur’an dan Sunah, dalam rangka meninggalkan kelompok atau madzhabnya masing-masing ketika tidak ditemuinya, maka mereka membuat pernyataan-pernyataan yang disandarkan pada Nabi SAW.
2.      Usaha Kaum Zindik
Kaum zindik termasuk kaum golongan yang membenci islam, baik islam, baik islam sebagai agama atau sebagai pemerintahan. Mereka tidak mungkin dapat melampiaskan kebencian melalui konfrontasi dan pemalsuan Al Qur’an, maka cara yang paling tepat dan memungkinkan adalah melalui pemalsuan hadits, dengan tujuan menghancurkan agama dari dalam. ‘Abd Al-Karim Ibn Auja’ yang dihukum mati oleh Muhammad bin Sulaiman bin Ali, wali wilayah Basrah, ketika hukuman akan dilakukan dia mengatakan “Demi Allah saya telah membuat hadits palsu sebanyak 4.000 hadits”. Seorang zindiq telah mengaku dihadapan kholifah Al-Mahdi bahwa dirinya telah membuat ratusan hadits palsu. Hadits palsu ini telah tersebar dikalangan masyarakat.[6] Hammad bin Zaid mengatakan “ hadits yang dibuat kaum zindiq ini berjumlah 12.000 hadits.[7] Contoh hadits yang dibuat oleh golongan zindiq itu antara lain:
اَلنَّظَرُ إِلَى الْوَجْهِ الْجَمِيْلِ صَدَقَهُ[8]
Melihat wajah cantik termasuk ibadah”
3.      Perselisihan Madzhab dan Ilmu Kalam
Munculnya hadits-hadits palsu dalam masalah fiqih dan ilmu kalam ini berasal dari para pengikut madzhab. Mereka berani melakukan pemalsuan hadits didorong sifat fanatik dan ingin menguatkan madzhabnya masing-masing.[9]
            Diantara hadits-hadits palsu tentang masalah ini adalah:
a.      Siapa yang mengangkat kedua tangannya dalam shalat, maka shalatnya tidak sah.
b.      Jibril menjadi imamku dalam shalat di ka’bah, ia (Jibril) membaca basmalah dengan nyaring.
c.       Yang junub wajib berkumur dan menghisap air tiga kali.
d.      Semua yang ada di bumi dan langit serta diantara keduanya adalah makhluk, kecuali Allah dan Al-qur’an. Dan kelak aka nada diantara umatku yang menyatakan “al-qur’an itu makhluk”. Baarang siapa yang mengatakan demikian, niscaya ia telah kufur kepada Allah Yang Maha Agung dan saat itu pula jatuhlah talak kepada istrinya.

  

DAFTAR PUSTAKA
Al- Nawawi, Shahih Muslim Syarah al-Nawawi, Syirkah Ifamat Al-Din, Kairo, 1349.
Nur Al- Din ‘ Itr, Manhaj Al- Naqd Fi Ulum Al-Hadits, Dar Al-fikr, Damaskus, 1979.
Ajjaj Al- Khatib, ‘Ushul Al- Khatib, Ulumuhu Wa Mushtalahuhu, (Bairut, Dar Al- Fikr, 1981), cet. Ke-4.
Ahamad Amin, Fajr Al Islam,(Kairo: Maktabat Al-Nahdhoh Al Mishriyah, 1975), cet. Ke-11.
Suhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Hadits,telaah kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1988)
Mahmud Al-Thahan, Tafsir Musthofah Al-hadits, (Beirit:Dar Al Qur’an Al-Karim, 1399 H / 1979 M)
Mustofa Al-Siba’I, Al-Sunnah wa Makanatuha fi Al-Tasyri’ Al-Islami (Kairo: Dar Al-Salam, 1998)


[1] Al- Nawawi, Shahih Muslim Syarah al-Nawawi, Syirkah Ifamat Al-Din, Kairo, 1349, hlm.108
[2] Nur Al- Din ‘ Itr, Manhaj Al- Naqd Fi Ulum Al-Hadits, Dar Al-fikr, Damaskus, 1979, hlm.286
[3] Ajjaj Al- Khatib, ‘Ushul Al- Khatib, Ulumuhu Wa Mushtalahuhu, (Bairut, Dar Al- Fikr, 1981), cet. Ke-4, hlm. 415
[4] Ahamad Amin, Fajr Al Islam,(Kairo: Maktabat Al-Nahdhoh Al Mishriyah, 1975), cet. Ke-11, hlm. 210-211
[5] Suhudi Ismail, Kaidah Keshahihan Hadits,telaah kritis dan Tinjauan dengan Pendekatan Ilmu Sejarah, ( Jakarta: Bulan Bintang, 1988), hlm. 92-93
[6] Ibid. Hlm. 207-208
[7] Mahmud Al-Thahan, Tafsir Musthofah Al-hadits, (Beirit:Dar Al Qur’an Al-Karim, 1399 H / 1979 M), hlm. 70
[8] Mustofa Al-Siba’I, Al-Sunnah wa Makanatuha fi Al-Tasyri’ Al-Islami (Kairo: Dar Al-Salam, 1998), cet. Ke-1, hlm. 86
[9] Ibid, Hlm. 215


Read More >>>