Sunday, March 31, 2013

Ijtihad, URGENCY, and its development


Pengertian Ijtihad
      Ijtihad adalah bahasa arab berbentuk “mashdar” yang berasal dari kata dasar “ijtihada”, artinya bersungguh-sungguh, berusaha keras atau mengerjakan sesuatu dengan susah payah.[1]
Sedangkan menurut istilah, para ahli fiqih berbeda pendapat dalm memberikan definisi, diantaranya yaitu: Menurut al-Syaukani Ijtihad adalah mencurahkan sekedar kemampuan untuk mendapatkan hukum syar’iy yang bersifat operasional (pengamalan) dengan cara mengambil kesimpulan hukum (istinbath). Imam al-Amidi beranggapan bahwa, Ijtihad adalah mencurahkan segala kemampuan yang ada untuk mencari hukum syara’ yang sifatnya dhanni sampai dirinya merasa tidak mampu lagi untuk mencari tambahan kemampuannya.
Menurut para ahli, Ijtihad adalah pencurahan seorang faqih akan semua kemampuan yang telah ada untuk mencari hukum syara’ yang sifatnya dhanni sampai dirinya tidak mampu lagi untuk mencari kemampuannya.[2] Ahli tahqiq mengemukakan bahwa ijtihad adalahqiyas untuk mengeluarkan (istinbath) hukum dari kaidah-kaidah syara’ yang umum.[3]
Dari beberapa definisi diatas dapat disimpulkan bahwa Ijtihad adalah menggunakan segala kesanggupan untuk mencari suatu hukum syara’ dengan jalan dzan. Dapat diambil  pengertian bahwa dalam masalah ijtihad, ditemukan adanya beberapa unsur yang harus ada didalamnya, yaitu sebagai berikut:
a.       Mujtahid, yaitu orang yang melakukan ijtihad.
b.      Masalah yang akan di-ijtihadi yang benar-benar membutuhkan pencarian sttus hukumnya.
c.       Metode istinbath (pengambilan kesimpulan pendapat)
d.      Inatijah, yaitu hasil atau kesimpulan hukum yang  telah diijtihadi.
     Oleh sebab itu, maka ijtihad dapat dijadikan sebagai jalan untuk mendapatkan beberapa ketentuan hukum dari dalil sebagai landasan pokoknya. Disamping itu bisa dijadikan pula sebagai suatu metode untuk memberikan kepastian hukum yang muncul akibat adanya tuntutan dan kepentingan dalam bermuamalah.[4]
2.      Dasar hukum Ijtihad
Para fuqaha boleh melakukan ijtihad apabila dalam suatu masalah tidak ada dasar hukum yang terdapat dalam nash al-Quran. Dasar hukum diperbolehkannya melakukan ijthad antara lain firman Allah SWT:
Artinya : “Dan dari mana saja kamu keluar (datang), maka palingkanlah wajahmu ke Masjidil Haram.” (QS. Al-Baqarah:149)
     Dari ayat tersebut dapat dipahami bahwa orang yang berada jauh dari Masjidil Haram, apabila akan salat,dapat mencari dan menentukan arah itu melalui ijtihad dengan mencurahkan akal pikirannya berdasarkan indikasi atau tanda-tanda yang ada.
     Dalam sebuah hadist nabi bahwa Muadz bin Jabal ketika diutus menjadi gubenur di Yaman pernah berijtihad dalam memutuskan suatu perkara. Ketika itu Muadz ditanya oleh rosulullah SAW: “dengan apa engkau menjatuhkan hukum?” Muadz menjawab, “dengan kitab Allah (Alqur’an)  jawab Muadz! “Rosulullah bertanya lagi, “kalau engkau tidak dapat keterangan dari Al-Qur’an?” Muadz menjawab, “saya menggalinya dari sunah rosul.” Rasulullah pun bertanya, “kalau engkau tidak mendapati keterangan dari sunah Rasulullah SAW?” Muaddz menjawqab, “saya akan berijtihad dengan akal saya dan tidak akan berputus asa. Rasulullah menepuk pundak Muadz bin Jabal mennandakan persetujuannya.
     Berdasarkan ayat dan hadist tersebut, maka ulama’ membagi hukum ijtihad dalam tiga macam sebagai berikut:
1)      Wajib ‘ain, bagi seseeorang yang ditanya tentang suatu peristiwa yang hilang sebelum diketahui hukumnya. Begitu pula apabila peristiwa tersebut dialami sendiri oleh seseorang dan ia ingin mengetahui hukumnya.
2)      Wajib kifayah. Bagi seseorang yang ditanya tentang  suatu peristiwa yang tidak dikhawatirkan akan hilang sementara masih ada mujtahid lain selain dirinya.
3)      Sunah yaitu terhadap suatu peristiwa yang belum terjadi, baik ditanyakan atau tidak.

3.      Syarat- syarat ijtihad dan mujtahid
      Pintu ijtihad selalu terbuka pada setiap masa, dengan perkembangan, ijtihad selalu diperlukan. Namun demikian tidak berarti setiap orang boleh melakukan ijtihad. Akhir-akhir ini, sebagian cendekiawan Islam merasa berhak dan mau berijtihad, tanpa melihat kesulitan proses ijtihad. Masalah ijtihad sebenarnya bukan mau atau tidak mau, tetapi persoalan mampu atau tidak mampu. Memaksa orang yang tidak mampu untuk berijtihad mengundang bahaya, sebab untuk melakukan ijtihad seseorang harus memenuhi syarat-syarat tertentu yang bisa membawa ke derajat mujtahid.[5] 
      Muhammad Musa Towana dalam bukunya yang berjudul al-ijtihad mengelompokkan syarat-syarat mujtahid ke dalam beberapa bagian berikut rinciannya.
      Pertama, persyaratan umum (al-syurut al-‘ammah), yang meliputi: balig, berakal sehat, kuat daya nalarnya, beriman atau mukmin.
      Kedua, persyaratan pokok (al-syurut al-asasiyah), yaitu syarat-syarat mendasar yang menuntut mujtahid supaya memiliki kecakapan berikut: (1) mengetahui Qur’an, (2) memahami Sunnah, (3) memahami maksud-maksud hukum syari’at, dan (4) mengetahui kaidah-kaidah umum (al-qawa’id al-kulliyat) hukum Islam.
      Ketiga, persyaratan penting (al-syurut al-hammah), yakni beberapa persyaratan yang penting dipunyai mujtahid. Syarat-syarat ini mencakup: (1) menguasai bahasa Arab, (2) mengetahui ilmu ushul al-fiqh, (3) mengetahui ilmu mantik atau logika, dan (4) mengetahui hukum asal suatu perkara (al-bara’ah al-asliyah).
      Keempat, persyaratan pelengkap (al-syurut al-takmiliyah) yang mencakup: (1) tidak ada dalil qat’i bagi masalah yang diijtihadi, (2) mengetahui tempat-tempat khilafiyah atau perbedaan pendapat, dan (3) memelihara kesalehan dan ketaqwaan diri.[6]

4.      Urgensi Ijtihad
Untuk menemukan
1.      Karena ada dalil dzanni dalalah
2.      Perkembangan kehidupan manusia[7]
3.      Dari hemat penulis, mengemukakan bahwa ijtihad sangat penting untuk menemukan kebenaran suatu masalah yang belum ada nashnya.

5.      Perkembangan Ijtihad
a)      Ijtihad dan fiqih di masa Nabi SAW
Umat islam di masa Rasul tidak melakukan ijtihad bila menghadapi masalah baru, mereka mendatangi Nabi SAW untuk bertanya, lalu Nabi menjawab dengan petunjuk ijtihadnya yang mendapat kebenaran dari wahyu. Mereka hanya mempergunakan ijtihad bila mereka tak dapat bertanya. Ijtihad itu mereka sampaikan kepada Nabi SAW, lalu Nabi SAW memberikan putusannya.
b)      Periode-periode Ijtihad sesudah Nabi SAW
v  Masa Khulafaur Rasyidin
Para sahabat, sepeninggal Rasulullah menghadapi berbagai masalah baru. Maka mereka melakukan Istinbat terhadap permasalahan tersebut, namun tidak menetapkan masalah-masalah yang belum terjadi dan tidak member jawaban terhadap yang belum timbul. Bila terjadi suatu masalah, barulah mereka melakukan ijtihad dan berpegang pada Alqur’an dan hadits.
v  Ijtihad dewasa ini
Banyak orang yang berkata bahwa pintu ijtihad sudah ditutup, namun pendapat ini tidak benar melihat permasalahan-permasalahan timbul silih berganti. Didalam penghidupan masyarakat dari hari ke hari bahkan dari saat ke saat, terdapat masalah- masalah yang memerlukan pemecahan hukum yang pasti, yang tidak terdapat dalam nash-nash Alqur’an atau hadits. Oleh karena itu ijtihad sangat perlu dan sangat erat kaitannya dengan permasalahan-permasalahan itu, sebab ijtihad pada dasarnya adalah daya upaya karya otak para mujtahid untuk menemukan dalil dalam Alqur’an maupun as-sunnah.[8]

D.    KESIMPULAN
            Ijtihad adalah menggunakan segala kesanggupan untuk mencari suatu hukum syara’ dengan jalan dzan. Unsure yang ada dalam ijtihad yakni Mujtahid,yaitu orang yang melakukan ijtihad, masalah yang akan di-ijtihadi yang benar-benar membutuhkan pencarian sttus hukumnya, metode istinbath (pengambilan kesimpulan pendapat), Inatijah, yaitu hasil atau kesimpulan hukum yang  telah diijtihadi.
            Dasar hukum ijtihad yaitu Alqur’an dan Assunnah. Hukum ijtihad ada tiga, yaitu wajib ‘ain, wajib kifayah, dan sunah. Syarat untuk berijtihad adalah baligh, berakal sehat, mukmin, mengetahui Alqur’an, memahami Assunnah, memahami maksud-maksud hukum syari’at, menguasai bahasa Arab, mengetahui ilmu ushul al-fiqh, mengetahui ilmu mantik atau logika, mengetahui hukum asal suatu perkara (al-bara’ah al-asliyah).
            Urgensi ijtihad adalah karena adanya dalil dzanni dalalah dan perkembangan hidup manusia. Perkembangan ijtihad pada zaman Nabi SAW, para sahabat berijtihad bila tak dapat bertanya, dan menyampaikannya, lalu Nabi SAW memberikkan putusannya. Pada masa khulafaurrasyidin bila terjadi suatu masalah, mereka melakukan ijtihad dan mereka berpegang pada Alqur’an dan Assunnah.

No comments:

Post a Comment